RIP Demokrasi Indonesia: Sebuah Elegi di Tengah Hiruk Pikuk Negeri


Di sebuah negeri yang pernah dielu-elukan karena keberanian rakyatnya, demokrasi kini perlahan seperti tubuh renta yang terbaring kaku. Dulu, ia lahir dari teriakan jalanan, dari darah dan air mata yang tumpah demi sebuah janji: suara rakyat adalah suara tertinggi. Namun hari ini, janji itu seperti terhapus pelan-pelan oleh tinta kebijakan yang lebih berpihak pada kuasa dan harta.

Demokrasi, yang dahulu disambut dengan gegap gempita, kini seperti sebuah nama yang hanya tinggal di buku sejarah. Parlemen yang semestinya menjadi rumah rakyat berubah menjadi istana penuh keistimewaan. Keputusan-keputusan besar tak lagi lahir dari suara nurani, melainkan dari bisikan lobi, angka, dan kepentingan.

Di jalanan, rakyat kembali berteriak. Mereka mendobrak pagar, membawa poster, dan mengumandangkan nyanyian perlawanan. Namun suara mereka seakan memantul ke dinding yang tebal, tidak terdengar di ruang rapat yang ber-AC, di mana senyum para elite tak terusik oleh jerit di luar.

Apakah ini demokrasi yang kita perjuangkan?
Apakah ini warisan reformasi yang dahulu dielu-elukan?
Atau kita sedang menyaksikan pemakamannya—tanpa doa, tanpa upacara, hanya duka yang menyesakkan dada?

Hari ini, rakyat menabur bunga di atas pusara demokrasi.
Mereka berbisik lirih, “Selamat jalan, demokrasi. Kami pernah mengenalmu. Kami pernah mencintaimu. Kini kami hanya bisa meratapimu.”

Dan negeri ini pun berjalan pincang, mencari cahaya di antara bayang-bayang kuasa. Karena meski demokrasi telah terkubur, asa untuk kebangkitan selalu menyelinap di hati yang tak pernah rela menyerah.

Komentar

Postingan Populer